Jumat, 06 Juli 2012

Tawui, Pinupahar








Okatana, Pinupahar


Anda Hau, Pinupahar

Langira, Matawai La Pawu




Balikpapan, Kalimantan Timur

Melolo, Umalulu




Waingapu, Sumba Timur

Ende, Flores

Ruteng, Flores

Arround Flores

Manta Point - Pink Beach - Loh Liang (Pulau Komodo) - Pulau Kalong - Loh Buaya (Pulau Rinca) - Pulau Bidadari

Sejak keberangkatan saya untuk bertugas di Sumba Timur, tempat yang paling ingin saya kunjungi adalah Pulau Komodo.
Pada saat itu, bayangan saya ya...hanya si Komo saja.
Senja di Labuhan Pantai Pede
Labuhan Bajo










Tapi ternyata salah besar.

Tempat wisata di Flores "lebih bukan tentang Komodo".
Semuanya menakjubkan.

Makan Bareng
Kami 21 orang ditemani dengan Kencana Adventure menyewa 3 buah boat. Kami dibagi menjadi 3 kelompok, 10, 8 dan 3. Om Figo, dari Kencana Adventure berbaik hati untuk memberikan "harga saudara" kepada kami, dengan alternatif 3 orang dari kami akan ditumpangkan di boat bule.
Ah...tidak jadi masalah, pikirku.

Aku, Putri dan Ifti yang jadi korbannya.
Kami terpaksa harus berpisah dari rombongan kami.

Tapi bukan masalah besar. Justru perpisahan ini menjadi lebih menyenangkan. Banyak hal yang kudapat dari perjalanan ini.

Dengan menumpang di boat yang di pimpin oleh Kapten Jay ini, kami mengarungi lautan flores.

Beruntung 2 orang bule yang satu kapal dengan kami berasal dari Prancis. Dealvy (23 tahun) dan Arno (26 tahun). Keduanya tidak terlalu lancar dalam berbahasa Inggris, jadi aku dapat berkomunikasi dengan baik, (sama-sama gak lancar, hehe)

Dua orang lagi, tidak terlalu banyak berbicara. Amy (33 tahun) dan Brad (33 tahun). Dari akun facebook mereka, kurasa mereka suami istri. Entahlah. Apa peduliku.

Liburan ini, seperti yang kuimpikan. Serasa liburan bertiga. Aku bisa memilih antara diam dan berbicara kapanpun aku mau.

Kapten Jay adalah kapten yang hebat. Meskipun sedikit cerewet, tapi kami tidak terlalu terganggu.
Dua orang ABK yang sangat ramah dan murah senyum, Bang Aris dan Kang Abik. Kemudian satu lagi, siswa magang dari Ruteng, Dedy namanya.

Kurasa perjalananku lebih berwarna dibandingkan dengan teman-teman yang lain.

Lautan Flores sungguh jernih. Di sekeliling, terlihat pulau-pul;au kecil yang tidak berpenghuni, mungkin juga tidak bernama. Berulang kali aku bertanya pada Kang Abik tentang pulau yang kami lewati, dia selalu menggeleng tidak tahu. Mungkin pengetahuan Bang Aris lebih banyak, tapi sayang, Bang Aris jarangt menemani kami duduk di anjungan kapal.

Tempat pertama yang kami tuju adalah Manta Point. Program di tempat ini sebenarnya adalah snorkeling, tapi sayang, kami tidak mempunyai cukup nyali untuk nyemplung di tengah lautan.
Jadi ya, kami hanya duduk melihat Amy, Brad dan Arno ngambang di permukaan laut, menunggu kabar dari mereka tentang berapa banyak Hiu dan Ikan Pari yang berhasil mereka lihat.

Tempat kedua adalah Pink Beach. Kali ini, Kapten Jay berjanji akan membimbing kami untuk snorkeling. Awalnya kukira, Pink Beach adalah tempat untuk menikmati indahnya pasir yang berwarna pink. Tapi ternyata tidak. Memang sih warna pasir di pantai ini pink. Tapi ternyata, pantai ini menyimpan keindahan lain yang jauh lebih menakjubkan. Ikan.

Wah......tak terbayangkan. Indah, sangat sangat sangat sangat sangat sangat indah.
Entah berapa ribu ikan di lautan ini. Dan tak terhitung pula berapa juta warna yang tertangkap oleh mataku.

Pink Beach
Jadi harus naik sampan
Gak boleh melepas jangkar














Kami akhirnya melanjutkan perjalanan ke pulau Komodo, setelah puas dan megap-megap karena air laut yang tak sengaja masuk ke hidung dan mulutku (maklum, pengalaman pertama, belum pintar masang masker).

Di pulau Komodo, kami ditawarkan untuk memilih antara Short Track, Medium Track, atau Long Track. Sebagaimana kebanyakan orang Indonesia, kami lebih suka yang tengah. Kami memilih Medium Track. Beruntungnya keempat bule itu setuju.

Tidak lama. Langkah Arno yang terlalu panjang menyebabkan kami terlalu cepat sampai di ujung perjalanan. Karena merasa belum puas dan belum seekor Komodopun yang kami temui, Arno mengusulkan untuk mengambil Long Track.



Mr. Jack, Ranger yang mengawal kami menolak pada awalnya, tapi setelah diberikan beberapa pengertian akhirnya dia setuju.
Sarang Burung Gosong
Tai Komodo, hehe
Akhirnya kami bertemu juga dengan si Komo. Aku lega karena tidak membuat bule itu kecewa. Kasihan kan, sudah jauh-jauh dari Prancis, tapi si Komo nya malah malu-malu nggak mau keluar.







Pulau Komodo
Bukit Sulfur
Setelah puas jeprat-jepret dengan si Komo, kami berpamitan dengan Mr. Jack.
Di perjalanan menuju kapal, seseorang meneriakiku dengan menggunakan bahasa Jawa, mereka bilang ada komodo besar...

Kami semua lari mendekat dengan bahagia.
Sebenarnya aku bingung juga. Apa sih yang dicari dari Komodo? Lucu enggak, imut juga enggak. Tapi ya... sudahlah, yang penting mereka puas dengan tempat-tempat wisata di Indonesia.


Kami kemudian menuju ke Pulau Kalong untuk bermalam di sana.
Subhanallah.... kalongnya besar sekali... Mungkin bisa mencapai 1 meter panjangnya.

Matahari terbit di pulau Kalong

Malam yang tidak terlalu dingin. Beruntung pada jam 3 aku terbangun dan secara tidak sengaja menyaksikan keajaiban alam yang luar biasa. Bulan tenggelam. Indah? Sangat.


Pagi-pagi sebelum Shubuh kami semua terbangun, tak mau melewatkan satu lagi momen luar biasa. Matahari terbit.

Sayang sekali tidak ada sarapan pagi ini. Mungkin kami harus menyesuaikan dengan perut si Bule yang tidak terbiasa dengan nasi di pagi hari.

Pintu masuk ke pulau Rinca
















Sekitar jam 8 pagi, kami tiba di Pulau Rinca. Di sini, kami bertemu dengan l;ebih banyak Komodo, tapi ukurannya lebih kecil daripada Komodo di pulau Komodo.









Pemandangan laut dilihat dari bukit di pulau Rinca



Si Komo

























Dari Pulau Rinca, kami bertolak ke Pulau Bidadari.

Pulau Bidadari
Mungkin tempat ini adalah tempat yang paling berkesan dibandingkan dengan tempat-tempat yang lain. Kami melewatkan setengah hari penuh di sini. Bersama orang-orang baik di sekitarku. Dealvy, dengan senang hati mengajariku snorkeling. Aku bisa. Sendiri. Ke tengah laut. Meskipun tanpa kusadari ternyata sedari tadi Kang Abik dan Bang Aris secara bergantian mengawalku dari belakang.


Arno, Delphine, Amy, Brad, Nik, Ifti, dan Putri


Terima kasih teman....

Pertemuan yang tidak terlupakan.
Perjalanan ini jadi jauh lebih menarik bersama kalian.

Nice to meet you.

Semoga kita bisa bertemu lagi di lain kesempatan.

Labuhan Bajo, Flores

Labuhan Bajo.



Nama yang asing bagi saya. Belakangan saya baru tahu bahwa Labuhan Bajo adalah sebuah pelabuhan di pulau Flores. Tempat yang harus disinggahi sebelum menuju ke pulau Komodo.


Penduduk asli di daerah ini mayoritas bekerja sebagai nelayan. Dan mereka semua -penduduk asli, 100% beragama muslim.

Hari pertama di tempat ini, saya dan dua orang teman melancong ke Pantai Pede. Sebuah lokasi strategis untuk menikmati indahnya sun set. Sayang sekali kami tidak dapat menunggu hingga matahari kembali ke peraduannya. Kami harus segera bergegas menemui agen travel yang akan membantu kami untuk mengunjungi pulau-pulau indah di sekitar Flores.

Saat berjalan di tepi pantai, saya bertemu dengan seorang nelayan beserta kedua putra kecilnya. Mereka tengah asik dengan perahu kecil mereka. Mungkin sedang mempersiapkan perahu untuk berlayar mencari ikan. Kami menghampiri keluarga itu, kemudian menyapa, "Selamat sore pak...", sebuah sapaan yang biasa kami gunakan di Sumba Timur.

Namun betapa terkejutnya kami mendengar jawaban dari bapak nelayan tersebut. "Kok nggak Assalamu'alaikum mbak?"


Kami tersipu malu, kemudian meminta maaf.
"Maaf bapak... Sudah terbiasa dengan lingkungan yang tidak Islami, jadi sering keliru, lupa kalau di sini mayoritas muslim..."

Sang nelayan bercerita bahwa di tempat itu, sebelum banyak pendatang, semuanya, 100% muslim. Namun sekarang, Labuhan Bajo telah menjadi tempat wisata sehingga penduduknya lebih heterogen.

Memang benar. Tempat-tempat wisata seperti Labuhan Bajo dan Bali telah dikuasai oleh pendatang. Hampir semua rumah yang berjajar di tepi jalan raya Labuhan Bajo adalah milik orang-orang Jawa dan Ende.

Pasar Ramuk, Pinu pahar, Sumba Timur

Pasar Ramuk adalah harapan terbesar masyarakat Ramuk-Mahaniwa untuk memenuhi berbagai kebutuhan pokok mereka.

Ramuk adalah desa yang berjarak sekitar 8 km dari SMPN Satap Umandundu. Dan bisa mencapai 18 km dari Watu Ngguling, kampung terjauh di desa Mahaniwa.

Pasar ini hanya ada seminggu sekali. Biasanya pada hari Kamis.

Namun jika hujan lebat, jangan harap ada pasokan barang menuju pasar ini.

Hanya ada beberapa kios di pasar ini. Kios-kios tersebut menjual berbagai macam kebutuhan pokok seperti gula, garam, bawang putih, ikan asin, batu baterai, sabun, handbody lotion, buku dan pena.

Jika beruntung, terkadang ada yang menjual biskuit Roma Kelapa, cemilan langka yang seringkali kami buru.

Pernah suatu hari, di hari pasar pertama kami. Tiga hari sebelumnya, kami telah memesan berbagai kebutuhan kepada sopir Oto. Pada hari Kamis, kami berdelapan turun ke desa Ramuk untuk menjemput barang belanjaan kami. Aku, si ceroboh ini, ditugaskan untuk membawa satu kotak telur. Mungkin menurut teman-teman, aku hanya diberi tanggung jawab yang ringan saja, melihat kondisi fisikku yang tidak cukup kuat.
Tapi apa yang terjadi? Satu kotak telur itu jatuh di tengah perjalanan. 11 butir telur pecah.



Ini baru telur. Sungguh tak sanggup dibayangkan bagaimana susahnya masyarakat desa ini memikul beras dari pasar Ramuk. Terutama warga dari Anda Hau, Watu Ngguling, dan kampung-kampung lain yang mencapai puluhan kilometer jaraknya dari desa Ramuk.

Mahaniwa, PinuPahar, Sumba Timur

Mahaniwa adalah desa terjauh dari Waingapu, ibukota Sumba Timur.
Hal yang paling menarik untuk diceritakan dari Mahaniwa adalah perjalannya yang begitu luar biasa. Untuk sampai ke tempat ini, diperlukan waktu minimal 8 jam dengan menaiki kendaraan umum tradisional yang biasa disebut dengan Oto kol (Bus Kayu). Bus kayu adalah sebuah truk yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga menjadi kendaraan penumpang. Ada sekitar 5 - 7 papan yang dipalangkan antara sisi kiri dan kanan truk sehingga menjadi tempat duduk. Sandarannya pun terbuat dari benda serupa dengan ukuran serupa pula. Kursi dan sandaran ini sengaja didesain 'bongkar-pasang' agar sewaktu-waktu bisa dibongkar dan dipasang kembali ketika banyak muatan yang berupa barang ataupun hewan.
Kendaraan luar biasa ini dapat menampung apa saja, tidak peduli berapapun jumlahnya.
Pernah suatu hari dalam perjalanan menuju Waingapu, kami terpaksa harus berdesak-desakan dengan puluhan penumpang beserta binatang ternaknya. Lengkap. Mulai dari kuda, babi, kambing, kerbau, sapi, dan ayam.
Parahnya, kambing yang diikat di atas tenda truk, saat itu benar-benar tidak bersahabat. Tas kami yang ditumpuk di bagian depan, basah semua terkena air kencing si kambing. Sehingga ketika kami tiba di Waingapu, seluruh badan dan bawaan kami bau pesing akibat terkena air kencing kambing.

Oto kol yang kami tumpangi, tidak selalu dapat mengantar kami sampai di Mahaniwa. Ketika musim hujan, Oto hanya sampai di desa Ramuk. Kami harus berjalan kaki memikul barang-barang belanjaan dari kota Waingapu. jalan yang ditempuh bukanlah jalan datar, tapi jalan setapak yang licin dan mendaki.

Terlebih saat hujan lebat, maka Oto hanya mampu mengantar kami sampai di desa Katikuwai, di seberang sungai. Sebab pada saat hujan lebat, air sungai Katikuwai meluap sehingga tidak mungkin lagi bisa di tembus dengan kendaraan apapun.

Kami harus menyebrangi sungai tersebut dengan berpegangan pada tambang yang telah diikatkan dari seberang sungai. Kemudian menembus hutan mengikuti jalan pintas untuk menuju Mahaniwa.




Namun demikian, di samping perjalanan yang mengharukan itu, desa Mahaniwa benar-benar desa yang menyenagkan.
Masyarakat yang ramah. Tanah yang subur. Air yang jernih mengalir deras dari mata air yang tak pernah kering sepanjang tahun.

Sungguh setahun yang tak bisa dilupakan.